Jumat, 06 November 2009

Situs Sentonorejo

Situs Sentonorejo merupakan peninggalan Majapahit yang berupa hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Letak situs di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Lantai bangunan kuno tersebut berada -1.80 m dari permukaan tanah disekitarnya dan berorientasi Barat-Timur dengan azimut 80. Hal menarik dari peninggalan lantai kuno ini berbentuk segi enam, lebar tiap sisi 6 cm dan tebal rata-rata 4cm, bahannya terbuat dari tanah liat bakar. Temuan lantai serupa berjarak +500 m dari tempat ini. Jumlah ubin yang masih tersisa 104 buah, sebagian tersimpan di tanah liat. Dinding bangunan merupakan susunan bata berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm dan tebal 5 cm. Diperkrakan sisa lantai dan dinding di Sentonorejo ini merupakan permukiman kuno yang bersifat profan yaitu beupa rumah tinggal pada masa Majapahit. Situs Pemukiman Sentonorejo dipugar pada Tahun Anggaran 1990/1991.

Teknologi dan Kesenian Majapahit

Keagungan karya arsitektural masa Majapahit yang dapat disaksikan kini tidak lain merupakan cerminan dari kemampuan mewujudkan simbol dan spirit religius dewa-raja melalui perpaduan keunggulan teknologi rancang bangun dan kesenian. Sosoknya hadir dalam percandian yang dipersembahkan sebagai pendharmaan bagi raja, titisan Sang Dewa, yang mangkat.

Kitab Negarakertagama menyebutkan 27 buah percandian, tetapi hanya beberapa di antaranya yang masih dapat kita kenali saat ini sebagai Candi Singosari, Candi Kidal, Candi Jago, Candi Jawi, Candi Simping dan Bhayalango. Ciri yang menyertai percandian Majapahit adalah kaki candi yang tinggi bertingkat dengan tubuh candi yang dibalut bingkai melingkar, dan atap candi yang tinggi menyita pandangan. Kita juga mengenal arsitektur Majapahit dari bangunan Profan (bukan bersifat religius) seperti gapura, pertirtaan, dan kolam.

Potret arsitektur pekotaan Majapahit selintas tergambar dari sebuah kesaksian musafir Cina Mahuan, si penulis Kitab Ying-Yai Sheng-Lan. Majapahit atau Man-Che-Po-i digambarkan sebagai tempat tinggal raja yang dikeliling tembok bata. Keraton tampak seperti rumah bertingkat dan atapnya terbuat dari kayu tipis yang disusun seperti ubin keramik (sirap). Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi anyaman tikar pandan atau rotan. Rumah penduduk biasanya beratap jerami. Mereka memiliki peti dari batu yang dipakai untuk menyimpan harta milik.

Berdasarkan berbagai sumber seperti relief candi di Jawa Timur dan miniatur rumah terakota, maka dapat diperkirakan betuk arsitektur bangunan tinggal pada masa Majapahit. Pada masa awal diperkirakan kostruksi bangunan terbuat dari kayu yang berdiri diatas batur.

Di dalam rumah tersebut belum terdapat pembatas ruangan secara permanen. Penutup atapnya genteng. Bangunan seperti ini mungkin digunakan sebagai pendopo atau bale, tempat istirahat, dan tidur. Pada masa akhir Majapahit, rumah tinggal sudah memiliki pembatas.

Berdasarkan berbagai sumber tertulis didapatkan pula gambaran mengenai tata ruang perkotaan Majapahit. Kota Majapahit berorientasi ke utara. Semua bagian penting berada di utara termasuk keraton. Pemukiman rakyat berada di sebeah selatan. Pola kota terbagi menjadi 9 zona yang dibatasi oleh jalan-jalan yang berpotongan. Tempat tinggal raja terletak di bagian tengah, sedangkan bangunan suci berada di sebelah barat daya kota.

Namun dengan demikian, hanya dengan pengujian arkeologis kita dapat memastikan apakah pola seperti ini yang digunakan pada masa Majapahit.

Di Situs Trowulan ditemukan pula jenis-jenis barang yang terbuat dari lempung bakar atau terakota dalam jumlah yang sangat melimpah. Dapat disimpulkan bahwa ketika itu terakota sangat berperan dalam kehidupan penduduk kota. Terakota Majapahit dari Situs Trowulan amat kaya ragamnya, diantaranya seperti unsur bangunan (bata, genteng, jobong sumur, pipa saluran), wadah (periuk, pasu, kendi, tempayan, jambangan), hiasan (hiasan pilar bangunan, boneka, vas bunga), situs religi (sesaji, meterai), dan alat kebutuhan praktis lainnya seperti timbangan, dan lampu (clupak). Sebagian besar terakota ini diduga merupakan buatan setempat karena ditemukan alat produksinya yang berupa pelandas. Selain terakota, di Situs Trowulan banyak ditemukan juga berbagai benda yang terbuat dari bahan logam dan batu seperti genta, guci amerta dan arca, yang telah memiliki nilai seni yang cukup tinggi.

Struktur Pemerintahan

Sebagai kerajaan yang besar, Majapahit mempunyai aparat pemerintahan yang lengkap. Raja mempunyai banyak pembantu sebagai pelaksana. Hierarkhi pemerintahan kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut:
1. Raja, merupakan pemegang pucuk pimpinan kerajaan.
2. Yuwaraja/Kumararaja, jabatan yang diduduki oleh putra/putri raja.
3. Rakyan Mahamantri Katrini, dewan yang melaksanakan politik negara.
4. Rakyan Mahamantri ri Pakiran-Kiran, dewan ini juga melaksanakan politik negara.
5. Dharmadyaksa, merupakan kepala bidang agama.
6. Dharmapopati, merupakan dewan yang juga mengurusi keagamaan.

hukum majapahit

Untuk mengatur kehidupan rakyatnya, kerajaan Majapahit telah memiliki sejumlah peraturan yang terkumpul dalam kitab perundang-undangan. Kitab tersebut berisi baik tentang hukum pidana maupun hukum perdata. Peraturan tersebut berlaku bagi setiap orang. Hal ini dapat dilihat dari pasal 6 Kitab Agama yang berbunyi "Hamba raja mesti ia mentri sekalipun jika menjalankan dusta, corah, dan tatayi akan dikenakan pidana pati." Selain itu, menurut kitab perundang-undangan Majapahit pasal 259 dan 261 berbunyi " Barang siapa menelantarkan sawah dan ternaknya akan dikenakan denda atau diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati." Latar belakang peraturan ini kemungkinan disebabkan karena Hayam Wuruk sadar bahwa penggarapan sawah dan pemeliharaan ternak yang baik dapat mempengaruhi perekonomian rakyat dan negara.

Religi dan Kesusastraan

Kehidupan religius pada masa Majapahit telah memberikan andil yang besar dalam peradaban manusia Majapahit. Semuanya itu terekam dan tersurat dalam karya-karya sastra yang sangat indah dan bermutu diantaranya seperti Kakawin Negarakertagama, Arjunawiwaha, Sutasoma, Lubdhaka, Writasancaya, dan Kunjarakarna.

Dalam Negarakertagama, Prapanca menuliskan bahwa terdapat pejabat pemerintahan yang mengurusi agama yaitu Dharmashyaksa Kasogatan untuk agama Budha, dan Mentri Herhaji untuk aliran Karsyan. Pejabat-pejabat ini dibantu oleh Dharma-Upapatti yang mengurusi sekte-sekte seperti Sivasiddhanta, dan Bhairawapaksa.

Kehidupan religius Majapahit mencapai tahap perkembangan yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, yaitu adanya penyatuan antara agama Siwa-Budha. Pertemuan lintas agama tersebut terjadi pada tataran kebenaran tertinggi, tetapi dalam praktek ritual ibadah keduanya tetap terpisah. Paham raja sebagai titisan dewa yang dianut kerajaan dimanifestasikan dalam pembuatan arca perwujudan dari raja-raja yang telah wafat yang didharmakan dalam sebuah percandian.

Di Kerajaan Majapahit juga berkembang agama Karesian yang dikembangkan dalam sekolah yang dipimpin oleh para pendeta (rsi). Dasar ajarannya adalah sekte Sivasiddhanta, dimana meditasi dipandang sebagai cara untuk mencapai realitas absolut. Ajaranya berkembang dalam masyarakat dan bercampur dengan kepercayaan tradisional yang asli. Ritusnya diwujudkan sebagai perjalanan menuju tingkat-tingkat kesempurnaan dalam hidup.

Mereka mengisolasi diri di gunung-gunung dan tempat sunyi sebagai rangkaian pengajaran. Meditasi dilakukan di berbagai pertapaan antara lain Gunung Penanggungan, Arjuna, dan Sukuh. Kehadiran Islam mewarnai ragam agama yang berkembang di Majapahit. Tidak kurang dari 30 nisan ditemukan di komplek kuburan Troloyo dan sekitarnya. Sebagian besar nisan memuat tanggal antara rentang waktu 1356-1475 M. Dengan demikian, kita dapat mengartikan bahwa agama Islam telah ada ketika Majapahit berada di puncak kejayaan pada masa Hayam Wuruk. Majapahit telah menunjukkan sebagai negara yang terbuka, multikultur, dan masyarakat yang hidup dengan berbagai aliran keagamaan secara berdampingan.